TAJUK RENCANA

SUARA MERDEKA 31 JANUARI 2008

Ini bukan pertama kali seorang Gubernur Bank Indonesia terjerat kasus hukum. Sebelumnya ada Syahril Sabirin dan Soedradjad Djiwandono. Sekarang giliran Burhanuddin Abdullah. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus aliran dana BI sebesar Rp 100 miliar. Ada banyak hal yang perlu disimak. Penegakan hukum sudah seharusnya dilakukan namun ketika itu menyangkut orang nomor satu di Bank Indonesia alias Bank Sentral dan otoritas moneter maka implikasinya bisa bermacam-macam. Meski sejauh ini tak ada sesuatu yang dikhawatirkan menyangkut kepercayaan terhadap institusi itu.Baik Menteri Koordinator Perekonomian Boediono maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani sama sekali tak merisaukan penetapan tersangka petinggi BI itu akan berdampak pada gejolak di pasar uang maupun pasar modal. Karena diyakini sistem sudah berjalan dengan baik dan dewan gubernur terdiri atas beberapa orang sehingga kalaupun Gubernur BI terganggu konsentrasinya atas kasus ini, masih ada yang bisa menggantikan tugas-tugas pentingnya. Yang lebih menarik perhatian justru kontroversi dan ironi yang selalu mewarnai upaya penegakan hukum. Dan kali ini kembali menimpa seseorang yang mempunyai reputasi dan prestasi yang baik.

Ada pertanyaan usil yang sepertinya tidak penting tetapi tidak bisa dikesampingkan. Yakni, mengapa kalau akan ada pergantian gubernur BI seringkali ada kasus hukum seperti ini. Orang pun berprasangka semua ini ada latar belakang politik, agar Burhanuddin tak bisa dicalonkan lagi sebagai Gubernur BI periode 2008-2013. Pertanyaan usil lain, kalau KPK berani menetapkannya sebagai tersangka bagaimana dengan penerima dana aliran BI antara lain politikus yang ada di Senayan. Seperti diketahui dana Rp 31,5 miliar diperuntukkan bagi Komisi IX DPR periode 2003 untuk keperluan amandemen UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI.

Sejauh ini KPK mengisyaratkan sangat mungkin juga ada anggota DPR atau mantan anggota DPR yang dijadikan tersangka. Justru itulah yang selalu akan menjadi batu ujian. Selama ini kontroversi dan ironi terjadi karena hukum hanya menjerat orang-orang yang sudah tak lagi memiliki backing politik kuat. Misalnya mantan menteri di era pemerintahan sebelumnya. Kendati hal itu bukan ingin menafikan persoalan hukum yang sebenarnya. Namun tak bisa dipungkiri masyarakat juga berhak memberikan penilaian terutama menyangkut rasa keadilan. Kalau ternyata hanya tebang pilih atau pilih kasih maka sangatlah disayangkan.

Dalam kasus Burhanuddin Abdullah, apakah anggota dewan gubernur lain yang juga menandatangani pencairan dana yang mengalir ke mana-mana itu juga ikut bertanggung jawab? Itu adalah persoalan hukum dan kita tak ingin mengintervensi. Namun ada ironi lain yakni adanya kenyataan tentang kebutuhan dana yang begitu besar, seperti kelaziman yang ada selama ini di DPR, untuk mengegolkan sebuah Undang Undang. Dari segi apapun pelanggaran hukum tetaplah pelanggaran namun ada kondisi dan situasi yang mendorong ke arah sana. Maka penerima, untuk tidak dikatakan peminta dana, tak bisa dibiarkan lepas.

Kita tetap mendorong KPK melangkah dengan tegar untuk sebuah komitmen besar yakni pemberantasan korupsi. Namun jangan sampai mereka salah melangkah atau salah menentukan prioritas justru karena intervensi atau keterbatasan kemampuan profesionalnya. Masyarakat memberikan dukungan penuh bagi lembaga tersebut kendati sudah tak segencar dulu karena seringkali kita juga melihat KPK pun tak bisa steril dari kepentingan luar. Maka tantangan sangat berat dihadapi. Mereka harus mampu membuktikan langkah-langkahnya tidak hanya berani, tegas dan cepat melainkan juga harus mempertimbangkan rasa keadilan.